Jumat, 01 April 2011

SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA ERA REFORMASI

SEJARAH EKONOMI INDONESIA

A.Pemerintahan Orde Lama

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam praktiknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberikan perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940 an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan belanda,yakni polisi I dan II .Setelah akhirnya pemerintah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965 Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah seperti di sumatera dan Sulawesi.
Selain itu ,selama periode orde lama,kegiatan produksi di sector pertanian dan sector industry manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung,baik fisik maupun non fisik ,seperti penanndaan dari bank. Akibat rendah nya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyak nya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300%menjelang akhir periode lama.

Kebijakan paling penting yang dilakukan oleh Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gulden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950, pada masa Kabinet Natsir untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP.
Pada masa Kabinet Wilopo langkah-langkah yang diambil untuk memulihkan perekonomian Indonesia adalah memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, melakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui , modernisasi dan pengurangan jumlah personil, dan pengiritan pengeluran pemerintah. Pada masa Kabinet Ali I, hanya dua langkah yang dilakukan, walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet Burhanuddin, tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk di antaranya adalah liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan laku uang beredar, penyepurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus pada pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) Persetujuan KMB sebagai usaha untuk menghilangkan sistem kolonial atau menghapuskan dominasi perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.

Selama periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersial, yang memiliki kontibusi lebih besar daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan asing. Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda menjadi lebih buruk, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi. Pada akhir September 1965 ketidakstablan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari PKI. Sejak peristiwa tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis

B. Pemerintahan Orde Baru

Tepatnya pada bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru. Berbeda dengan pemerintahan orde lama, dalam era orde baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintah menjalin kembali hubungan baik dengan Barat dan menjauhi ideologi komunis. Indonesa juga kembali menjadi anggota perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan IMF.
Sebelum rencana pembangunan lewat repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik, serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dan kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor, yang sempat mengalami stagnasi pada masa orde lama.. Menjelang akhir dekade 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia.

Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran
Pada bulan April 1969 repelita I dimula dan dampaknya juga dari repelita-repelita berikutnya selama orde baru terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada orde lama. Keberhasilan ekonomi pada masa Soeharto tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet yang baik/solid dalam menyusun rencana, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi, tetapi juga berkat tiga hal: penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, pinjaman luar negeri, dan PMA yang khususnya sejak dekade 1980-an perannya di dalam pembangunan ekonomi Indonesia meningkat tajam. Dapat dikatakan bahwa kebijakan Soeharto yang mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada sistem ekonomi liberal dan stabilitas politik yang pro Barat, telah membuat kepercayaan pihak Barat terhadap prospek pembangunan ekonomi Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan terhadap banyak LDC’s lainnya.
Akan tetapi, pada tingkat meso dan mikro, hasil pembangunan selama masa itu dapat dikatakan tidak terlalu memukau seperti pada tingkat makro. Jumlah orang miskin masing besar dan kesenjangan ekonomi dan sosial cenderung melebar. Sebenarnya, pemerintah sadar betul akan masalah ini. Bahkan paradigma pembangunan ekonomi Indonesia pada era orde baru telah diwadahi dengan baik dalam konsep politik “Trilogi Pembangunan”, yaitu tiga prasyarat yang terkait secara erat dan saling memperkuat dan saling mendukung, yakni stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam bidang politik dan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, dalam usaha menghilangkan dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi terhadap kesenjangan dan kemiskinan, atau untuk menghilangkan atau memperkecil efek trade off antara pertumbuhan dan kesenjangan atau kemiskinan, didalam GBHN dinyatakan secara tegas pentingnya usaha-usaha untuk menghilangkan kemiskinan dan kesenjangan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada waktu yang bersamaan
C. Pemerintahan transisi

Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar Bath Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”.untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus,pemerintah Thailand melakukan intervensi dan di dukung oleh intervensi yang dilakukan oleh bank sentral singapura
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis Asia. Rupiah mulai terasa goyang sekitar bulau Juli 1997. Menanggapi hal itu, pada bulan Juli 1997 BI melakukan 4 kali intervensi, yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak, nilai tukar rupiah dalam dolar AS terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah yakni Rp 2.682 per dolar AS. Dalam aksinya, pertama-tama BI memperluas rentang intervensi rupiah dari 8% menjadi 12%, tetapi akhirya juga menyerah dengan melepas rentang intervensinya, dan pasa hari yang sama juga rupiah anjlok ke Rp 2.755 per dolar AS. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya kurs rupiah terus melemah. Pada bulan Maret 1998 nilai tukar rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.

Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian Indonesia. Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkrit, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri.
Pada akhir bulan Oktober 1997, IMF mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat.

Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand, dua negara yang sangat seirus dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai dengan kesepakatan itu dengan IMF. Akhirnya pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa siundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal

1. Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korsel, Filipina dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam negeri maupun luar negeri (termasuk bank-bank di negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima letter of credit (L/C) dari bank-bank nasional dan investor-investor dunia) tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya; bahkan mereka juga tidak lagi percaya pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di dalam negeri.

2. Indonesia sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998 kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 miliar dolar AS. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki BI hingga awal Juni 1998 hanya 14.621,4 juta dolar AS.

Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintah dan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”. Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap 4 mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti. Kemudian, pada tanggal 14 dan 15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juaga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/i dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya Dr. Habibie, tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentik kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi.

Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi, setelah setahun berlalu, terlihat pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim orde baru, dan tidak ada perubahan yang nyata. Bahkan KKN semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul dimana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Akhirnya banyak kalangan lebih suka menyebutya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi.

D. Pemerintahan Reformasi

Pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilu, yang dimenangkan oleh PDI-P. Partai Golkar mendapat posisi ke dua. Bulan Oktober dilakukan SU MPR dan pemilihan presiden diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 1999, KH Abdurrachman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus dur terpilih sebagai presiden RI dan Megawati Soekano Putri sebagai wakil presiden. Pada awal pemertintahan reformasi maysarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan gus dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti KKN, supremasi hukum, HAM, penembakan Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI didalam politik.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih sebagai presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktik KKN semakin intensif, ini berarti bahwa rezim Gus Dur tidak berbeda dengan rezim orde baru. Selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan social yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut,misalnya pemberontakan Aceh,konflik Maluku dan pertikaian etnis di Kalimantan tengah.
E.Pemerintahan Gotong Royong
Setelah presiden Wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesia yang kelima. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada pemerintahan Gus Dur. Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal
Wahid kian terasa jika dilihat dari perkembangan indikator ekonomi lainnya, sepeti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data BPS, inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati, atau periode januari-juli 2001 tingkat inflasi sudah mencapai 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan selama periode Juli 2000-juli 2001 sudah mencapai 13,5%.

Namun demikian, dalam era Megawati kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%.
F.Pemerintahan Indonesia Bersatu

Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, sempat optimis kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun kedepan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Namun pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yaitu naiknya harga minyak mentah di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kenaikkan harga BBM di pasar internasional dari 45 dollar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dllar AS per barrel awal agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu anggota OPEC, Indonesia juga impor BBM dalam jumlah yang semakin besar dalam beberapa tahun belakangan. Akibatnya Indonesia bukan saja menjadi net oil importer, tetapi juga sudah menjadi pengimpor BBM terbesar di Asia.

Menjelang akhir masa jabatan SBY yang akan berakhir tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yakni harga BBM yang terus naik dan kenaikkan harga pangan di pasar global. Kedua goncangan tersebut sangat mengancam kestabilan perekonomian nasional, khususnya tingkat inflasi.

Pada kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 yaitu pada tahun 2004-2009 utang negara kita mroket drastis dari 1275 triliun menjadi 1667 triliun. Dengan sistemkebijakan pemerintah SBY saat ini, rakyat dipaksa menanggung beban uatang para bankir lewat beragam pemotongan subsidi seperti pendidikan (BHP) dan kesehatan. Sekarang zamannya Indonesia Bersatu jilid II kita tidak bisa langsung mengetahui bagaimana kinerja pemerintah yang sekarang karena baru menjabat 2 tahun. Tapi melihat kondisi perekonomian Indonesia yang sekarang ini sulit rasanya menstabilkan ekonomi. Banyak sekali masalah penting di zaman pemerintah jilid I dan II yang hilang begitu saja tanpa tahu akhir inti dan akar kemana permasalahan itu berawal.
NAMA : SOPYAN HAKIM
KELAS : 1EB17
NPM : 26210660

REFERENSI :
Dr. Tulus T.H. Tambunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar